HEADLINES

Rabu, 30 Januari 2013

*** Plus dan Minus Facebook ***






Pada era modern ini, kemajuan teknologi adalah sebuah fenomena alam nyata yang tak terhindarkan dari lini kehidupan umat manusia. Bahkan seakan-akan alat-alat modern tersebut nyaris merasuk ke jantung setiap orang, lintas budaya, suku, bangsa, dan agama.

Di antara alat teknologi modern tersebut adalah internet dengan berbagai variasi program di dalamnya, termasuk di antaranya situs jejaring sosial yang dinamakan “Facebook” yang kini terkenal luas dan diminati banyak orang.

Nah, sebagai seorang muslim yang sejati, hendaknya kita menempatkan alat ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai lahan pahala bagi kita berupa dakwah, silaturrahmi dan sebagainya, bukan malah menjadikannya sebagai alat ghibah (gunjingan), fitnah, provokasi, gosip, nafsu berahi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada edisi kali ini sedikit akan kami sampaikan secara ringkas tentang fiqih penggunaan Facebook dalam syari’at Islam. Semoga bermanfaat.

Definisi Facebook dan Sejarahnya
Facebook adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web yang diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Pengguna dapat membuat profil pribadi, menambahkan pengguna lain sebagai teman dan bertukar pesan, termasuk pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui profilnya. Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan grup pengguna yang memiliki tujuan tertentu, diurutkan berdasarkan tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, atau karakteristik lainnya. Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama oleh administrasi universitas di AS dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain. Facebook memungkinkan setiap orang berusia minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini.

Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer: Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa Harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas, dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun.[1]

Pergerakan dan popularitas Facebook semakin tumbuh dari hari ke hari. Dari berbagai penjuru, warga dunia menggunakan fasilitas ini, termasuk Indonesia. Sehingga menurut statistik, pada 16 Maret 2009 jam 14. 00 WIB, ada 2.235.280 orang yang menyatakan warga Indonesia di Facebook.[2]

Plus Minus Facebook
Facebook ini ibarat seperti sebuah pisau, bisa mengandung manfaat bila digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tetapi juga bisa membawa bahaya bila digunakan untuk tindak kejahatan. Demikian halnya dengan Facebook—yang merupakan jejaring sosial—bisa digunakan sebagai wadah silaturrahmi di dunia maya, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya. Namun, sebaliknya Facebook juga bisa digunakan sebagai ajang maksiat. Berikut ini penjelasannya lebih terperinci:

1. Manfaat Facebook
Di antara manfaat Facebook adalah sebagai berikut:

a. Sebagai sarana dakwah
Facebook bisa digunakan sebagai sarana dakwah yang bagus di tengah keringnya ilmu dan informasi tentang Islam yang benar, sehingga betapa banyak orang mendapatkan hidayah disebabkan membaca artikel di Facebook atau diskusi di Facebook.

b. Wadah silaturrahmi
Facebook bisa digunakan sebagai wadah untuk menyambung silaturrahmi antara sesama teman, orang tua, kerabat, murid, atau guru dan ajang untuk mencari kawan lebih banyak lagi yang itu hukum asalnya adalah boleh-boleh saja.

c. Menyimpan file/tulisan
Tulisan yang disimpan di komputer bukan tidak mungkin akan hilang saat komputer terkena virus. Akan tetapi, jika disimpan di Facebook, maka file tersebut tetap akan selamat selama account masih aktif.

2. Keburukan Facebook
Di antara keburukan Facebook adalah sebagai berikut:

a. Kecanduan
Banyak dari pengguna Facebook merasa asyik berbalas atau chatting, sehingga mereka menjadi lupa pada waktu, tugas kewajibannya, bahkan ada yang sampai dibuat lalai dari aturan agama gara-gara kecanduan Facebook.

b. Wadah maksiat
Banyak dari para pengguna Facebook tidak mengindahkan aturan agama sehingga menjadikan Facebook sebagai wadah maksiat, berupa ghibah, fitnah, gosip, pacaran, dan sebagainya.

c. Gambar foto
Di antara wabah Facebook yang sangat perlu diperhatikan adalah budaya menampilkan foto-foto pribadi yang jelas akan dilihat banyak orang, bahkan terkadang yang ditampilkan adalah foto-foto seronok yang mengumbar nafsu. Oleh karenanya, bagi para pengguna Facebook hendaknya mengganti foto-foto tersebut dengan foto-foto lain yang tidak bermasalah seperti pemandangan alam dan sejenisnya.[3]

Facebook, Halal Atau Haram?
Booming-nya layanan jejaring sosial Facebook menuai kontroversi di kalangan para tokoh agama. Sehingga dahulu pernah diberitakan bahwa pondok pesantren se-Jawa Timur dan Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri mengharamkan pemanfaatan Facebook secara berlebihan seperti mencari jodoh maupun pacaran. Hal ini juga sesuai dengan hasil pembahasan dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Kediri, Jatim. Namun, fatwa ini akhirnya menuai protes dari para para tokoh moderat, bahkan ada sebagian kalangan yang menilai bahwa fatwa tersebut “kolot” dan “ketinggalan zaman”.

Sebenarnya tidak ada kontradiksi bila kita mau memadukan antara kedua pendapat tersebut. Sebab, kami rasa kita semua sepakat bahwa Facebook hanyalah sekadar sebuah alat saja, bukan haram secara zatnya, namun semua itu tergantung pada penggunaannya. Maka substansi fatwa para tokoh yang melarangnya seharusnya kita ambil faedahnya yaitu agar penggunaan Facebook bukan untuk kemaksiatan melainkan harus diarahkan kepada yang positif.

Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:

Meninggalkan penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
Menerima penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.
Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.”[4]

Tentu saja, Facebook adalah termasuk masalah kontemporer yang tidak ada dalilnya secara khusus. Namun, bila kita telaah kaidah-kaidah fiqhiyyah yang telah mapan, dapat kita temukan beberapa argumentasi yang menunjukkan hukum asal penggunaan Facebook adalah boleh, setidaknya ada dua kaidah fiqih yang bisa kita terapkan untuknya:

1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh
Kaidah ini merupakan kaidah yang agung sekali, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.[5] Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salalm:

إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ ، وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ

“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka kepada saya.”[6]

Bila ada yang mengatakan, “Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim?” Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa salalm dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khondaq?! Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdulloh al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:

اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ

Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.[7]

Maka tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

2. Sarana tergantung kepada tujuannya
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.[8] Tidak ragu lagi bahwa dakwah, silaturrahmi, menimba ilmu, dan lainnya merupakan tujuan yang mulia, maka segala sarana yang menuju kepada tujuan tersebut hukumnya seperti tujuannya. Hal ini sama persis dengan hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih modern untuk jihad dan sebagainya; tidak diragukan tentang bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.

Kesimpulannya, bahwa Facebook layaknya alat-alat teknologi lainnya seperti telepon, radio, tipe dan sebagainya, bisa digunakan untuk menimbulkan kerusakan aqidah, pemikiran, akhlak dan sebagainya tetapi ini tidak boleh hukumnya dalam pandangan syari’at. Dan bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Maka seyogianya bagi kaum muslimin untuk memanfaatkan alat ini ini hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi dunia dan akhirat agar dakwah Islam semakin berkembang dan menyebar. WAllahu A’lam.[9]

Etika Seorang Muslim Ber-Facebook
Facebook adalah jejaring sosial. Itu berarti kita hidup dalam kawasan pertemanan dan pergaulan. Maka etika-etika bergaul harus diperhatikan. Ada beberapa etika yang perlu kami sampaikan kepada para pengguna Facebook sebagai nasihat bagi kita semuanya:

1. Jadikan sebagai ladang pahala
Hendaknya seorang yang masuk pada situs ini meluruskan niatnya terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikan Facebook untuk sesuatu yang bermanfaat sebagai ajang silaturrahmi, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya.

2. Mengatur waktu
Hendaknya pengguna Facebook memahami akan mahalnya waktu. Janganlah dia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting sehingga lalai dari sholatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat kerja.

3. Waspadailah zina mata dan hati
Dalam Facebook akan di-posting foto-foto pengguna Facebook lainnya yang terkadang mereka adalah foto-foto lawan jenis. Tidak menutup kemungkinan muncul nafsu berahi dengan melihatnya. Maka hendaknya kita takut kepada Allah dan menyadari bahwa semua itu adalah ujian akan keimanan kita kepada-Nya.

4. Jagalah kata-kata
Janganlah kita merasa bebas menulis status atau komentar dan kata-kata di Facebook. Pilihlah kata-kata yang baik dan menyenangkan. Jangan menulis kata-kata yang kotor, fitnah, provokasi, gosip, ghibah (gunjingan), dan sebagainya. Seorang muslim harus menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dapat menodai keimanannya.


Demikianlah fiqih Facebook yang dapat kami sampaikan. Semoga apa yang kami sampaikan ini membawa manfaat bagi semuanya. Aamiin.


Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Artikel www.abiubaidah.com

Daftar Referensi
Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka. Yuniardi Syukur. Diva Press, cetakan pertama, Agustus 2009 M.
Al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah. Dr. Abdurrohman as-Sanad. Dar al-Warroq, cetakan ketiga, 1427 H.
Dan lain-lain.


[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Facebook

[2] Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka hlm. 9–21 karya Yuniardi Syukur

[3] Lihat Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka hlm. 26–31 karya Yuniardi Syukur.

[4] Adhwa‘ul Bayan: 4/382

[5] Jami’ul Ulum wal Hikam: 2/166 oleh Imam Ibnu Rojab

[6] HR. Ibnu Hibban: 1/201 dan sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim

[7] Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir: 2/602 oleh Kholid bin Utsman as-Sabt dan risalah Rof’u Dzull wa Shoghor hlm. 42–45 oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni.

[8] Lihat al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 13–19 oleh Syaikh Abdurrohman as-Sa’di.

[9] Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah hlm. 82 oleh Dr. Abdurrohman as-Sanad.






*** Plus dan Minus Facebook ***

Pada era modern ini, kemajuan teknologi adalah sebuah fenomena alam nyata yang tak terhindarkan dari lini kehidupan umat manusia. Bahkan seakan-akan alat-alat modern tersebut nyaris merasuk ke jantung setiap orang, lintas budaya, suku, bangsa, dan agama.

Di antara alat teknologi modern tersebut adalah internet dengan berbagai variasi program di dalamnya, termasuk di antaranya situs jejaring sosial yang dinamakan “Facebook” yang kini terkenal luas dan diminati banyak orang.

Nah, sebagai seorang muslim yang sejati, hendaknya kita menempatkan alat ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai lahan pahala bagi kita berupa dakwah, silaturrahmi dan sebagainya, bukan malah menjadikannya sebagai alat ghibah (gunjingan), fitnah, provokasi, gosip, nafsu berahi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada edisi kali ini sedikit akan kami sampaikan secara ringkas tentang fiqih penggunaan Facebook dalam syari’at Islam. Semoga bermanfaat.

Definisi Facebook dan Sejarahnya
Facebook adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web yang diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Pengguna dapat membuat profil pribadi, menambahkan pengguna lain sebagai teman dan bertukar pesan, termasuk pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui profilnya. Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan grup pengguna yang memiliki tujuan tertentu, diurutkan berdasarkan tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, atau karakteristik lainnya. Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama oleh administrasi universitas di AS dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain. Facebook memungkinkan setiap orang berusia minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini.

Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer: Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa Harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas, dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun.[1]

Pergerakan dan popularitas Facebook semakin tumbuh dari hari ke hari. Dari berbagai penjuru, warga dunia menggunakan fasilitas ini, termasuk Indonesia. Sehingga menurut statistik, pada 16 Maret 2009 jam 14. 00 WIB, ada 2.235.280 orang yang menyatakan warga Indonesia di Facebook.[2]

Plus Minus Facebook
Facebook ini ibarat seperti sebuah pisau, bisa mengandung manfaat bila digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tetapi juga bisa membawa bahaya bila digunakan untuk tindak kejahatan. Demikian halnya dengan Facebook—yang merupakan jejaring sosial—bisa digunakan sebagai wadah silaturrahmi di dunia maya, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya. Namun, sebaliknya Facebook juga bisa digunakan sebagai ajang maksiat. Berikut ini penjelasannya lebih terperinci:

1. Manfaat Facebook
Di antara manfaat Facebook adalah sebagai berikut:

a. Sebagai sarana dakwah
Facebook bisa digunakan sebagai sarana dakwah yang bagus di tengah keringnya ilmu dan informasi tentang Islam yang benar, sehingga betapa banyak orang mendapatkan hidayah disebabkan membaca artikel di Facebook atau diskusi di Facebook.

b. Wadah silaturrahmi
Facebook bisa digunakan sebagai wadah untuk menyambung silaturrahmi antara sesama teman, orang tua, kerabat, murid, atau guru dan ajang untuk mencari kawan lebih banyak lagi yang itu hukum asalnya adalah boleh-boleh saja.

c. Menyimpan file/tulisan
Tulisan yang disimpan di komputer bukan tidak mungkin akan hilang saat komputer terkena virus. Akan tetapi, jika disimpan di Facebook, maka file tersebut tetap akan selamat selama account masih aktif.

2. Keburukan Facebook
Di antara keburukan Facebook adalah sebagai berikut:

a. Kecanduan
Banyak dari pengguna Facebook merasa asyik berbalas atau chatting, sehingga mereka menjadi lupa pada waktu, tugas kewajibannya, bahkan ada yang sampai dibuat lalai dari aturan agama gara-gara kecanduan Facebook.

b. Wadah maksiat
Banyak dari para pengguna Facebook tidak mengindahkan aturan agama sehingga menjadikan Facebook sebagai wadah maksiat, berupa ghibah, fitnah, gosip, pacaran, dan sebagainya.

c. Gambar foto
Di antara wabah Facebook yang sangat perlu diperhatikan adalah budaya menampilkan foto-foto pribadi yang jelas akan dilihat banyak orang, bahkan terkadang yang ditampilkan adalah foto-foto seronok yang mengumbar nafsu. Oleh karenanya, bagi para pengguna Facebook hendaknya mengganti foto-foto tersebut dengan foto-foto lain yang tidak bermasalah seperti pemandangan alam dan sejenisnya.[3]

Facebook, Halal Atau Haram?
Booming-nya layanan jejaring sosial Facebook menuai kontroversi di kalangan para tokoh agama. Sehingga dahulu pernah diberitakan bahwa pondok pesantren se-Jawa Timur dan Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri mengharamkan pemanfaatan Facebook secara berlebihan seperti mencari jodoh maupun pacaran. Hal ini juga sesuai dengan hasil pembahasan dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Kediri, Jatim. Namun, fatwa ini akhirnya menuai protes dari para para tokoh moderat, bahkan ada sebagian kalangan yang menilai bahwa fatwa tersebut “kolot” dan “ketinggalan zaman”.

Sebenarnya tidak ada kontradiksi bila kita mau memadukan antara kedua pendapat tersebut. Sebab, kami rasa kita semua sepakat bahwa Facebook hanyalah sekadar sebuah alat saja, bukan haram secara zatnya, namun semua itu tergantung pada penggunaannya. Maka substansi fatwa para tokoh yang melarangnya seharusnya kita ambil faedahnya yaitu agar penggunaan Facebook bukan untuk kemaksiatan melainkan harus diarahkan kepada yang positif.

Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:

Meninggalkan penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
Menerima penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.
Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.”[4]

Tentu saja, Facebook adalah termasuk masalah kontemporer yang tidak ada dalilnya secara khusus. Namun, bila kita telaah kaidah-kaidah fiqhiyyah yang telah mapan, dapat kita temukan beberapa argumentasi yang menunjukkan hukum asal penggunaan Facebook adalah boleh, setidaknya ada dua kaidah fiqih yang bisa kita terapkan untuknya:

1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh
Kaidah ini merupakan kaidah yang agung sekali, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.[5] Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salalm:

إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ ، وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ

“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka kepada saya.”[6]

Bila ada yang mengatakan, “Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim?” Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa salalm dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khondaq?! Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdulloh al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:

اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ

Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.[7]

Maka tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

2. Sarana tergantung kepada tujuannya
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.[8] Tidak ragu lagi bahwa dakwah, silaturrahmi, menimba ilmu, dan lainnya merupakan tujuan yang mulia, maka segala sarana yang menuju kepada tujuan tersebut hukumnya seperti tujuannya. Hal ini sama persis dengan hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih modern untuk jihad dan sebagainya; tidak diragukan tentang bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.

Kesimpulannya, bahwa Facebook layaknya alat-alat teknologi lainnya seperti telepon, radio, tipe dan sebagainya, bisa digunakan untuk menimbulkan kerusakan aqidah, pemikiran, akhlak dan sebagainya tetapi ini tidak boleh hukumnya dalam pandangan syari’at. Dan bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Maka seyogianya bagi kaum muslimin untuk memanfaatkan alat ini ini hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi dunia dan akhirat agar dakwah Islam semakin berkembang dan menyebar. WAllahu A’lam.[9]

Etika Seorang Muslim Ber-Facebook
Facebook adalah jejaring sosial. Itu berarti kita hidup dalam kawasan pertemanan dan pergaulan. Maka etika-etika bergaul harus diperhatikan. Ada beberapa etika yang perlu kami sampaikan kepada para pengguna Facebook sebagai nasihat bagi kita semuanya:

1. Jadikan sebagai ladang pahala
Hendaknya seorang yang masuk pada situs ini meluruskan niatnya terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikan Facebook untuk sesuatu yang bermanfaat sebagai ajang silaturrahmi, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya.

2. Mengatur waktu
Hendaknya pengguna Facebook memahami akan mahalnya waktu. Janganlah dia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting sehingga lalai dari sholatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat kerja.

3. Waspadailah zina mata dan hati
Dalam Facebook akan di-posting foto-foto pengguna Facebook lainnya yang terkadang mereka adalah foto-foto lawan jenis. Tidak menutup kemungkinan muncul nafsu berahi dengan melihatnya. Maka hendaknya kita takut kepada Allah dan menyadari bahwa semua itu adalah ujian akan keimanan kita kepada-Nya.

4. Jagalah kata-kata
Janganlah kita merasa bebas menulis status atau komentar dan kata-kata di Facebook. Pilihlah kata-kata yang baik dan menyenangkan. Jangan menulis kata-kata yang kotor, fitnah, provokasi, gosip, ghibah (gunjingan), dan sebagainya. Seorang muslim harus menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dapat menodai keimanannya.


Demikianlah fiqih Facebook yang dapat kami sampaikan. Semoga apa yang kami sampaikan ini membawa manfaat bagi semuanya. Aamiin.


Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Artikel www.abiubaidah.com

Daftar Referensi
Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka. Yuniardi Syukur. Diva Press, cetakan pertama, Agustus 2009 M.
Al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah. Dr. Abdurrohman as-Sanad. Dar al-Warroq, cetakan ketiga, 1427 H.
Dan lain-lain.


[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Facebook

[2] Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka hlm. 9–21 karya Yuniardi Syukur

[3] Lihat Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka hlm. 26–31 karya Yuniardi Syukur.

[4] Adhwa‘ul Bayan: 4/382

[5] Jami’ul Ulum wal Hikam: 2/166 oleh Imam Ibnu Rojab

[6] HR. Ibnu Hibban: 1/201 dan sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim

[7] Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir: 2/602 oleh Kholid bin Utsman as-Sabt dan risalah Rof’u Dzull wa Shoghor hlm. 42–45 oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni.

[8] Lihat al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 13–19 oleh Syaikh Abdurrohman as-Sa’di.

[9] Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah hlm. 82 oleh Dr. Abdurrohman as-Sanad.

Senin, 28 Januari 2013

Celana Membawa Sengsara


Saudaraku… semoga Allah merahmatimu. Tidak ada yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali kemaslahatan dan kebaikan umat ini. Semua perintah dalam agama pasti di dalamnya mengandung kebaikan untuk diri kita. Begitu pula segala macam larangan, tidak diragukan lagi di dalamnya banyak mengandung kemudhorotan bagi umat ini, baik disadari hikmahnya ataupun tidak. Oleh sebab itu Islam adalah agama yang sempurna. Karena segala sesuatu yang dapat menghantarkan makhluk kepada kebahagiaan dan segala hal yang dapat menjerumuskan makhluk ke dalam jurang kesengsaraan sudah dijelaskan dalam syari’at kita yang mulia ini dengan sejelas-jelasnya.

Ketahuilah wahai saudaraku… sesungguhnya ada celana yang dapat menjatuhkanmu ke lembah kesengsaraan (baca: neraka). 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka.” (HR. Bukhari)


Maksudnya bagian kaki yang terkena sarung/celana yang berada di bawah mata kaki, akan diazab di neraka, bukan sarung/celananya. Jadi, perbuatan menurunkan pakaian hingga menutupi mata kaki (baca: isbal) baik dilakukan dengan kesombongan ataupun tidak, maka pelakunya (musbil) akan diazab di neraka. Hanya saja bedanya jika dilakukan dengan kesombongan maka ini lebih parah dan lebih dahsyat lagi siksanya.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka pada hari kiamat, tidak memperhatikan mereka dan tidak mensucikan mereka (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku isbal (musbil), pengungkit pemberian (mannan) dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” 
(HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, An Nasa’i)

Pakaian Rasulullah Sampai Setengah Betis

Allah berfirman, 
” Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.”
(Al Ahzab: 21).

Saudaraku… apa yang menghalangimu untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah pakaian beliau! Beliau orang yang paling bertaqwa, paling takut kepada Allah, paling tidak mungkin untuk sombong, paling rajin beribadah, paling mulia di sisi Allah, tetapi pakaian yang beliau kenakan tidak menutup mata kaki beliau. Bahkan celana beliau hanya sampai setengah betis. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Maka apa yang di bawah mata kaki, tempatnya di neraka. Barangsiapa yang menyeret sarungnya (sampai menyapu tanah-pen) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya.” 
(HR. Abu Dawud, Malik, dan Ibnu Majah) 

Bukankah Rasulullah adalah qudwah/teladan kita di segala aspek kehidupan?! Lalu mau dikemanakan hadits beliau, “Barangsiapa yang meniru-niru gaya suatu golongan, maka ia termasuk bagian dari golongan tersebut.” ?! Apakah kita tidak ingin bergabung dengan golongan beliau?

Masalah Isbal Bukan Perkara ‘Kulit’

Lihatlah ‘Umar bin Khaththab ketika dalam kondisi yang sangat kritis (setelah ditikam perutnya hingga robek ususnya), masih menyempatkan diri untuk melarang kemungkaran yang satu ini (baca: isbal). Ini menunjukkan bahwa isbal bukan masalah sepele. Kalau benar isbal adalah masalah sepele, lalu apakah kita akan mengatakan masuk neraka adalah masalah sepele?

Wahai saudaraku… semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita. Marilah kita mengenakan pakaian dengan menggunakan tuntunan agama. Jangan sampai pakaian yang kita pakai, celana yang kita kenakan justru menjadi bumerang bagi kita yang ujung-ujungnya menghantarkan kita sampai ke dalam neraka. Wal ‘iyaadzu billah. Wallahu a’lam.
***
Penulis: Abu Yazid Nurdin

Saudaraku… semoga Allah merahmatimu. Tidak ada yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali kemaslahatan dan kebaikan umat ini. Semua perintah dalam agama pasti di dalamnya mengandung kebaikan untuk diri kita. Begitu pula segala macam larangan, tidak diragukan lagi di dalamnya banyak mengandung kemudhorotan bagi umat ini, baik disadari hikmahnya ataupun tidak. Oleh sebab itu Islam adalah agama yang sempurna. Karena segala sesuatu yang dapat menghantarkan makhluk kepada kebahagiaan dan segala hal yang dapat menjerumuskan makhluk ke dalam jurang kesengsaraan sudah dijelaskan dalam syari’at kita yang mulia ini dengan sejelas-jelasnya.



Ketahuilah wahai saudaraku… sesungguhnya ada celana yang dapat menjatuhkanmu ke lembah kesengsaraan (baca: neraka). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka.” (HR. Bukhari). Maksudnya bagian kaki yang terkena sarung/celana yang berada di bawah mata kaki, akan diazab di neraka, bukan sarung/celananya. Jadi, perbuatan menurunkan pakaian hingga menutupi mata kaki (baca: isbal) baik dilakukan dengan kesombongan ataupun tidak, maka pelakunya (musbil) akan diazab di neraka. Hanya saja bedanya jika dilakukan dengan kesombongan maka ini lebih parah dan lebih dahsyat lagi siksanya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka pada hari kiamat, tidak memperhatikan mereka dan tidak mensucikan mereka (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku isbal (musbil), pengungkit pemberian (mannan) dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, An Nasa’i)
Pakaian Rasulullah Sampai Setengah Betis
Allah berfirman, ” Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (Al Ahzab: 21). Saudaraku… apa yang menghalangimu untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah pakaian beliau! Beliau orang yang paling bertaqwa, paling takut kepada Allah, paling tidak mungkin untuk sombong, paling rajin beribadah, paling mulia di sisi Allah, tetapi pakaian yang beliau kenakan tidak menutup mata kaki beliau. Bahkan celana beliau hanya sampai setengah betis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Maka apa yang di bawah mata kaki, tempatnya di neraka. Barangsiapa yang menyeret sarungnya (sampai menyapu tanah-pen) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya.” (HR. Abu Dawud, Malik, dan Ibnu Majah) Bukankah Rasulullah adalah qudwah/teladan kita di segala aspek kehidupan?! Lalu mau dikemanakan hadits beliau, “Barangsiapa yang meniru-niru gaya suatu golongan, maka ia termasuk bagian dari golongan tersebut.” ?! Apakah kita tidak ingin bergabung dengan golongan beliau?
Masalah Isbal Bukan Perkara ‘Kulit’
Lihatlah ‘Umar bin Khaththab ketika dalam kondisi yang sangat kritis (setelah ditikam perutnya hingga robek ususnya), masih menyempatkan diri untuk melarang kemungkaran yang satu ini (baca: isbal). Ini menunjukkan bahwa isbal bukan masalah sepele. Kalau benar isbal adalah masalah sepele, lalu apakah kita akan mengatakan masuk neraka adalah masalah sepele?
Wahai saudaraku… semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita. Marilah kita mengenakan pakaian dengan menggunakan tuntunan agama. Jangan sampai pakaian yang kita pakai, celana yang kita kenakan justru menjadi bumerang bagi kita yang ujung-ujungnya menghantarkan kita sampai ke dalam neraka. Wal ‘iyaadzu billah. Wallahu a’lam.
***
Penulis: Abu Yazid Nurdin

Jadilah Orang Asing di Dunia



عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu Umar ‎​رضي الله عنه  beliau berkata: “Rosululloh صلى الله عليه وسلم  pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”. Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)
Takhrij: Hadits ini diriwayatkan al-Bukhori dalam shohih al-Bukhori pada kitab ar-Riqaaq no. 5937
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ini berisi nasihat nabi kepada beliau.
Hadits ini berisi nasehat yang dapat menghidupkan hati berupa peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, mempergunakan masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya untuk mencari bekal menuju kampung halaman kita nanti diakherat.
Rasululloh menyampaikan nasehat ini kepada Ibnu Umar yang waktu itu masih berusia 12 tahun. Hal ini menunjukkan keutamaan ibnu Umar dan perhatian yang besar dari Nabi kepada beliau.
Jika manusia mau memahami hadits ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting yang pas dengan realita.
Sesungguhnya manusia memulai kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan, maka manusia adalah seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya didunia ini.
Kedatangan nabi Adam dan keturunannya di muka dunia (sebagai manusia) adalah seperti datangnya orang asing. Karena sebenarnya tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Alloh adalah surga.
Nabi Adam diusir dari surga yang merupakan kampung halamannya terjadi dengan hikmah yang tinggi dan mulia dari Allah. Disamping sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat yang dilakukannya, juga untuk memakmurkan dunia dan mewujudkan tujuan penciptaan manusia.
Tujuan penciptaan ini dijelaskan dalam firman Allah : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51:56)
Apabila kita mau merenungkan hal ini, maka akan berkesimpulan bahwa seorang muslim yang hakiki akan senantiasa mengingatkan jiwanya dan mendidiknya dengan prinsip bahwa sesungguhnya tempat tinggalnya adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululloh di atas.
Betapa indah perkataan Ibnu Qoyyim rohimahulloh ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula.
Seorang muslim sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena iblis telah menawan bapak kita, Adam dan dia melihat, apakah dia akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak.
Oleh karena itu, alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:

نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى
مَـا اْلحُـبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الأَوَّلِ
Palingkan hatimu sesuka hatimu dari hawa nafsumu. Tidaklah kecintaan itu kecuali pada cinta pertamamu (yaitu Allah). Dan pernyataan:

كَمْ مَنْزِلٍ فِيْ الأَرْضِ يَأْلِفُهُ الْفَتَى
وَحَنِيْنُـــهُ أَبَــدًا لأَوَّلِ مَــنْزِلٍ
Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang ditempati seseorang. Dan selamanya kerinduannya hanya pada kampung halamannya (Syurga).
Demikianlah, hal ini hendaknya menjadikan hati kita senantiasa bertaubat dan tawadhu kepada Alloh jalla wa ‘ala. Menjadi orang yang hatinya senantiasa bergantung pada Alloh, baik dalam kecintaan, harapan, rasa cemas, dan ketaatan.
Hati kita harus senantiasa terkait dengan negeri yang penuh dengan kemuliaan yaitu surga. Kita meyakini dan mengetahui surga tersebut seakan-akan berada di depan mata tidak jauh.
Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau musafir. Orang yang berada pada kondisi seakan-akan mereka adalah orang asing atau musafir tidak akan merasa senang dengan kondisinya sekarang. Karena orang asing tidak akan merasa senang kecuali setelah berada di tengah-tengah keluarganya.
Sedangkan musafir akan senantiasa mempercepat perjalanan agar urusannya segera selesai.
Demikianlah hakikat dunia. Nabi Adam telah menjalani masa hidupnya. Kemudian disusul oleh Nabi Nuh, Kemudian zaman beliau selesai dan telah berlalu. Kemudian ada lagi sebuah kaum yang hidup selama beberapa ratus tahun kemudian zaman mereka berlalu. Kemudian setelah mereka, ada lagi kaum yang hidup selama 100 tahun, 80 tahun, 40 tahun 50 tahun dan seterusnya.
Hakikat mereka adalah seperti orang asing atau musafir. Mereka datang ke dunia kemudian mereka pergi meninggalkannya. Kematian akan menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang wajib untuk memberikan perhatian pada dirinya.
Musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah kelalaian tentang hakikat ini, kelalaian tentang hakikat dunia yang sebenarnya.
Jika Alloh memberi nikmat padamu sehingga engkau bisa memahami hakikat dunia ini, bahwa dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha, negeri yang sementara dan tidak kekal, niscaya hatimu akan menjadi sehat.
Adapun jika engkau lalai tentang hakikat ini maka kematian dapat menimpa hatimu sebelum kematian jasad menemuimu.
Semoga Alloh menyadarkan kita semua dari segala bentuk kelalaian.
Oleh karena itu Ibnu Umar melanjutkan dengan berwasiat,
إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء
“Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada pagi hari jangan menunggu datangnya sore.”
Maksudnya hendaklah kamu senantiasa waspada dengan kematian yang datang secara tiba-tiba dan senantiasa siap dengan datangnya kematian.
Demikianlah kehebatan dan kepakaran beliau dalam memahami sabda Rasululloh.
Beliau disampaing segera melaksanakan nasehat tersebut juga menyampaikan bimbingan kepada orang lain untuk melaksanakannya. Sebab seorang muslim harus selalu dibayangi kematian sehingga ia bersiap-siap dengan amalan sholeh tanpa kenal malas dan menunda-nunda. Seorang muslim harus beramal sholih disiang hari seakan-akan tidak akan menjumpai sore dan beramal dimalam hari seakan-akan tdk akan mendapati pagi harinya.
Husyaim al-Wasithi menyatakan: ‘Seandainya disampaikan kpd Manshur bin Zaadzan: Sungguh malaikat maut ada dipintu maka ia sudah tidak memiliki tambahan amalan lagi’. Maksudnya beliau tidak pernah memperlambat amalan sholeh sama sekali.
Hal ini dpt terjadi dgn senantiasa mengingat hak Alloh. Jika dia beribadah, maka dia telah menunaikan hak Alloh dan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Robbnya. Jika dia memberi nafkah pada keluarganya, maka dia melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat. Jika dia berjual beli, maka dia akan melakukan dengan ikhlas dan senantiasa berharap untuk mendapatkan rezeki yang halal.
Demikianlah, setiap kegiatan yg dia lakukan, senantiasa dilandasi oleh ilmu.
Oleh karenanya ibnu Umar menambah keterangan wasiatnya dengan menyatakan: 
وخذ من صحتك لمرضك، ومن حياتك لموتك. رواه البخاري
“Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)
Hendaknya seorang muslim segera beramal sholih sewaktu ada kemampuan dan itu dikeadaan sehat sebelum sakitnya dan hidup sebelum kematian menjemputnya.
Mudah-mudahan kita semua dpt mengamalkannya.
  Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
 http://www.salamdakwah.com/m/baca-artikel/untaian-nasehat---jadilah-orang-asing-di-dunia.html

Celakanya Para Pelawak !!!






Dari Abdullah bin Amir radhiallahu anhu dia berkata:

دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ


“Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata, “Hai kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya kepada ibuku, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ibuku, “Ketahuilah, jika kamu tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai kebohongan atasmu.” (HR. Abu Daud no. 4991 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 748)

Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang laintertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990, At-Tirmizi no. 2315, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7136)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim no. 5)
Abu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا

“Seburuk-buruk bekal yang dimiliki oleh seseorang (dalam berbicara) adalah ungkapan ‘menurut sangkaan mereka’.” (HR. Abu Daud no. 4872 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 866)

Maksudnya: Dia menyampaikan berita kepada orang lain hanya berdasarkan berita yang tidak jelas atau sangkaan-sangkaan orang saja.


Penjelasan ringkas:
Berdusta adalah dosa besar dan telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada seluruh keadaan. Baik itu berdusta kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak, baik orang yang mendengar belum tahu itu dusta maupun orang yang mendengar sudah tahu itu dusta (misalnya cerita lucu yang semuanya sudah paham kalau cerita itu hanya karangan), baik dustanya menyebabkan orang lain terzhalimin maupun tidak. Semuanya merupakan kedustaan yang diharamkan atas setiap muslim untuk terjatuh di dalamnya.

Di antara kedustaan yang biasa tersebar di tengah-tengah manusia dan dianggap enteng oleh kebanyakan di antara mereka adalah:

1.    Berdusta kepada anak kecil dengan anggapan mereka masih kecil.
Termasuk di dalamnya mengingkari janji kepada anak kecil atau menjawab pertanyaan anak kecil dengan jawaban dusta.


2.    Menceritakan kedustaan kepada orang lain, baik sesuatu yang lucu maupun tidak. Baik di dalamnya mengandung pelajaran yang baik maupun tidak. Semua bentuk cerita fiktif atau karangan atau dongeng atau yang semacamnya tidak boleh diceritakan karena isinya merupakan kejadian yang tidak pernah terjadi, karenanya ceritanya dikatakan kedustaan.
Alasan di dalam kisahnya terdapat pelajaran dan nilai pendidikan tidaklah bisa menjadikan kedustaan itu menjadi halal.

3.    Melawak dengan menceritakan cerita dusta, baik orang yang mendengarnyatertawa maupun tidak, baik pendengar mengira itu adalah cerita sungguhan maupun mereka sudah tahu kalau cerita itu adalah dusta.

4.    Berdusta dalam ucapan keseharian agar dirinya tidak kena marah atau agar dirinya tidak dihina oleh manusia.

5.    Menceritakan semua kabar yang dia dengar. Hal itu karena dalam kehidupan sehari-hari dia pasti akan mendengarkan kabar yang benar dan kabar yang salah. Karenanya tatkala dia menceritakan semua yang dia dengar, maka pasti suatu ketika dia akan terjatuh dalam kedustaan dengan menceritakan kabar yang tidak benar.

6.    Menceritakan sesuatu yang belum jelas sumbernya atau belum jelas benar tidaknya.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/celakanya-para-pelawak.html

Minggu, 27 Januari 2013

Semuanya Akan Indah pada Waktunya

Semuanya Akan Indah pada Waktunya

***

Begitulah yang sering kita baca di berbagai media, baik artikel[1], twitter, status Facebook, dan yang lainnya. Indah terdengar, dan bahkan sangat romantis dituliskan bagi para pendamba cinta (semu). Tapi tahukah kawan, bahwa kalimat tersebut berasal dari Bible, kitab suci agama Nashrani ?.

Jika kawan belum tahu, berikut yang tertera dalam buku tersebut :

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Versi bahasa Inggrisnya :

He has made everything beautiful in its time. He also has planted eternity in men's hearts and minds [a divinely implanted sense of a purpose working through the ages which nothing under the sun but God alone can satisfy], yet so that men cannot find out what God has done from the beginning to the end.
[Pengkhotbah, 3:11/Ecclesiastes, 3:11 – sumber : http://www.jesoes.com/index.php?hal=lihatPasal&injil=21&pasal=3#1].

Bahkan kalimat ‘indah pada waktunya’ sudah menjadi syi’ar resmi agama Nashrani yang dinyanyikan dalam berbagai versi lagu rohani mereka.[2]

Allah ta’ala telah berfirman :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Hadiid : 16].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika mengomentari ayat di atas :
فقوله: ولا يكونوا مثلهم، نهي مطلق عن مشابهتهم، هو خاص - أيضاً في النهي عن مشابهتهم، في قسوة قلوبهم، وقسوة القلوب من ثمرات المعاصي
“Firman-Nya : ‘janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya’ ; merupakan larangan yang bersifat mutlak dalam hal penyerupaan terhadap mereka (orang kafir). Larangan ini juga khusus menyerupai mereka dalam hal kerasnya hati, sedangkan kerasnya hati termasuk di antara buah kemaksiatan” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/290].

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daarith-Thayyibah, Cet. 2/1420].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” [Dikeluarkan oleh Ahmad dan yang lainnya, serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ no. 1269 – takhriij selengkapnya silakan baca di sini - http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/takhrij-hadits-barangsiapa-yang.html ].

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ والنَّصَارَى ؟. قَالَ : فَمَنْ ؟
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah yang ada pada pada umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikutinya pula”. Kami (para shahabat) bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang Yahudi dan Nashrani ?”. Beliau menjawab : “Siapa lagi ?” [Muttafaqun ‘alaih].

Setelah mengetahui hal ini, akankah kita akan mengikuti mereka dan melariskan syi’ar-syi’ar agama mereka ?.
Wallaahul-musta’aan.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, 21012013 – 01:51].

[1] Bahkan artikel yang tertulis di beberapa blog/situs Islam !!.
[2] Salah satunya : http://www.youtube.com/watch?v=3b0WJAV85qE.

***

Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/01/semuanya-akan-indah-pada-waktunya.html

TENTANG PENYINGKATAN SWT, SAW, DAN SALAM ASS.WR.WB



Berhubung masih sering di jumpai di Akun Islam Tegas dan Akun2 yang lainnya, ikhwan atau akhwat yang menggunakan singkatan-singkatan seperti Allah SWT, Nabi SAW, atau menulis salam dengan Ass. Wb.Wb,

Maka ada baiknya kami mengingatkan kembali bahwa singkatan2 seperti itu sebaiknya dihindari, apalagi oleh kalian yang ingin menapaki Jalan Yang Lurus dalam hakikat yang sesungguhnya.

Hukum Penyingkatan dengan Kata "ASS, WR.WB, SAW, SWT"

Banyak saudara kita yang menulis ucapan salam, ucapan sholawat dan asma Allah dengan singkatan, baik itu di komen-komen, di sms, dll. Kita tahu bahwa menulis tidaklah beda dengan kita berbicara kepada orang lain, yang mana disitu ada malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan tersebut.

Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya disisi Allah, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari keikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.

Insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan. Berikut adalah fatwa-fatwa ulama seputar masalah penyingkatan kata:

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:

Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر- ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:

Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meniyngkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan :

Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan Arab صلعم singkatan dari salallahu 'alaihi wassalam ?

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah , menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliau, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:

“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.” [HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut.

Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya صلعم ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:

“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah

Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam.

Al-‘Allamah As-Sakhawi

Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan,

“Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang.

Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan صلعم atau [Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (-pent.)] . Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi

As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi,

“Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang syariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya.

As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan صلعم , bahkan semestinya ditulis secara lengkap صلى ا لله عليه وسلم.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Keterangan Syaikh Bakar Abu Zaid :

Pada kitab Mu’ jam Al-Manaahii Al_lafzhiyyah, karya syaikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah halaman 339 – 351 dikatakan “ (disebutkan) pada kitab At-Tadzkirah At-Timuuriyyah, tentang singkatan shad lam mim ( صلعم ) adalah tidak boleh. Bahkan yang wajib adalah bershalawat dan mengucapkan salam. (Dari kitab al- fataawaa al-haditisyyah, karya Ibnu Hajar Al-Haitami, jilid 1, hal.548 pada manuskrip. Dan hal. 168 pada cetakan).

“Ini menunjukkan bahwa singkatan atau susunan kata yang dimurkai ini sudah ada sejak zaman Ibnu Hajar (Al-haitami). Sedangkan Ibnu Hajar wafat pada tahun 974 hijriyah. Dan sebelumnya, Al-Fairuz Abadi telah mengisyaratkan tentang hal ini dalam kitabnya Ash-Shilaat Wa Al-Busyr, ia berkata “

Tidak boleh lafazh shalawat (kepada Nabi) disingkat seperti yang dilakukan oleh sebagian orang malas, bodoh dan penuntut ilmu yang masih awam. Mereka menulis shad lam mim ( صلعم ) sebagai ganti dari shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Pada kitab yang sama halaman 188-189 disebutkan, “ nampaknya singkatan ini sudah ada sekitar tahun 900 Hijriyah. Telah diterangkan pada kitab syarh Alfiyyah Al-Iraqi Fi Musthalah Al-Hadits, yaitu pada ucapan An-Nazhim:

“Dan jauhilah kode (singkatan) untuk (shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘aklaihi wasallam) atau menghapusnya”.

Maksudnya, jauhilah singkatan shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau menghapus salahsatu hurufnya. Akan tetapi tunaikanlah (shalawat) dengan ucapan dan tulisan.

Kemudian pensyarah kitab tersebut, Syaikh Zakariya Al-Anshari menyebutkan, bahwasanya syaikh An-Nawawi telah menukil ijma’ dari para ulama akan sunnahnya bershalawat kepada nabi baik secara lisan maupun tulisan. Jadi bukan termasuk sunnah menyingkat lafazh shalawat dengan beberapa huruf tertentu”.

Syaikh Bakar melanjutkan, “ Kemudian syaikh Al-Anshari menyebutkan, bahwa orang yang pertamakali menyingkat shalawat dengan huruf shad lam mim ( صلعم ) dipotong tangannya, Wal ‘iyaazu billaah. Sementara itu syaikh Al-Anshari wafat pada abad ke-10 hijriyah (yakni tahun 926 Hijriyah).

Maka itu, jalan keselamatan dan kecintaan yang berpahala dalam menghormati dan memuliakan Nbai umat ini adalah dengan bershalawat dan mengucapkan salam ketika nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam disebut, sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah Allah Subhaana Wa Ta’ala dan petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, seluruh bentuk lafazh dank ode untuk menyingkat shalawat dan salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah terlarang.

Hendaklah kita menjauhkan dari penulisan singkatan-singkatan untuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apalagi untuk lafazh-lafazh yang dikhususkan untuk Allah Azza Wa Jalla.

Karena menulis dan melafazhkan itu lebih baik bagi kita dan lebih utama. Dan janganlah kita bermalas-malasan untuk bershalawat dalam bentuk tulisan dan lisan agar tidak termasuk orang yang bakhil lagi kikir.

Termasuk juga bermalas-malasan dalam menulis lafazh “assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” seperti yang sering kita lakukan selama ini. Karena penyingkatan lafazh salam menjadi “ass” artinya adalah pantat dalam bahasa inggris. Ini adalah sebuah penghinaan bagi kaum muslimin yang menerima singkatan ini.

Wallaahu a’lam

Rabu, 16 Januari 2013

Apa Karakteristik Firqoh Najiyah (Golongan yang Selamat) yang Paling Menonjol?

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apa karakteristik firqah najiyah yang paling menonjol? Apakah bila terjadi kekurangan akan mengeluarkan seseorang dari firqah najiyah?
Jawaban:
Karakteristik firqah najiyah yang paling menonjol adalah berpegang teguh dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Di dalam empat perkara inilah kamu akan mengetahu firqah najiyah.
Dalam masalah aqidah, kamu mendapati firqah najiyah selalu berperang teguh dengan apa yang ditunjukkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu tauhid yang murni dalam uluhiyah Allah, rububiyah-Nya dan asma’ wa sifat-Nya
Dalam masalah ibadah, kamu dapati firqah najiyah ini begitu unik di dalam berpegang teguh yang sempurna dan dalam merealisasi apa yang datang dari Nabi dalam masalah ibadah, berupa jenis, sifat, ukuran, waktu, tempat dan sebab-sebabnya. Kamu tidak akan mendapati mereka berbuat bid’ah dalam agama Allah ini, namun justru mereka sangat tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam memasukkan bentuk ibadah yang tidak diridhai-Nya.
Dalam masalah akhlak kamu dapati mereka juga istimewa dari yang lainnya ; dalam hal kebagusan akhlak, seperti cinta akan kebaikan untuk orang-orang muslim, lapang dada, wajah berseri, bagus dan mulia ucapannya, berani dan akhlak mulia lainnya.
Dalam masalah mu’amalah, kamu dapati mereka bermu’amalah kepada manusia dengan jujur dan terus terang. Mereka itulah yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
Artinya: “Dua orang yang jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak memilih barang selama mereka belum berpisah, yang jika keduanya jujur dan terus terang maka jual beli keduanya diberkahi.” [1]
Bila karakteristik-karakteristik ini kurang pada diri seseorang, hal itu tidak menjadikan ia keluar dari firqah najiyah, akan tetapi segala sesuatu ada derajadnya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Namun bila terjadi dalam tauhid, bisa jadi mengeluarkan dia dari firqah najiyah seperti rusaknya keikhlasan. Demikian juga bid’ah, bisa jadi dia berbuat bid’ah yang mengeluarkan dia dari firqah najiyah.
Sedang kekurangan dalam masalah akhlak dan mu’amalah tidaklah mengeluarkan seseorang dari firqah najiyah ini, tapi mengurangi martabatnya
Kita membutuhkan perincian dalam masalah akhlak. Hal yang terpenting dalam akhlak adalah bersatunya kalimat dan sepakat di atas kebenaran. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wasiatkan kepada kita dalam firman-Nya:
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” [Asy-Syura : 13]
Dan juga mengkhabarkan bahwa orang-orang yang memecah belah dien dan mereka menjadi terpecah-pecah, maka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” [Al-An’am : 159]
Bersatunya kalimat dan hati yang saling berkasih sayang adalah karakteristik firqah najiyah ahlul sunnah wal jama’ah yang paling tampak. Bila terjadi perselisihan di antara mereka dalam berijtihad pada masalah-masalah yang memang diperbolehkan untuk berijtihad, maka hal itu tidak membuat mereka saling dengki, saling bermusuhan dan saling membenci, tapi mereka meyakini bahwa mereka tetap bersaudara walaupun terjadi perselisihan di antara mereka.
Seseorang di antara mereka masih tetap ikut shalat di belakang seorang imam yang dianggap belum wudlu, tapi sang imam meyakini bahwa dia sudah wudlu. Seperti seseorang di antara mereka shalat di belakang seorang imam yang telah makan daging unta. Sang imam berpendapat bahwa memakan daging unta tidaklah membatalkan wudlu, sedangkan makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudlu, maka ia bependapat bahwa shalat dibelakang imam tersebut adalah tidak sah. Semua ini bisa berlangsung karena mereka memandang bahwa perselisihan ijitihad yang terjadi dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad; pada hakekatnya bukanlah perselisihan, karena masing-masing dari mereka telah mengikuti apa yang seharusnya diikuti, yaitu dalil yang mereka tidak boleh menyimpang darinya.
Mereka memandang bahwa saudaranya yang menyelisihi mereka dalam amalan yang sama-sama mengikuti dalil, pada hakekatnya mereka telah bersepakat, karena mereka selalu menyeru untuk mengikuti dalil di mana mereka berada. Jika perselisihan di antara mereka adalah sesuai dengan yang mereka pegangi, pada hakekatnya mereka sepakat, karena berjalan sesuai dengan apa yang mereka serukan dan apa yang mereka tunjukkan, yaitu berhukum pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tak bisa dipungkiri, perselisihan juga terjadi pada kebanyakan Ahlul ilmu dalam perkara-perkara seperti ini, bahwa hal inipun terjadi pada para sahabat, bahkan juga menimpa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi satu sama lain tidak mencela. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang Ahzab, Jibril datang mengisyaratkan untuk berangkat ke Bani Quraidlah karena mereka telah mengingkari janji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para sahabat dan bersabda:
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidlah.” [2]
Maka para sahabat keluar dari Madinah menuju Bani Quraidlah dan mengakhirkan Ashar, sebagian ada yang mengakhirkan shalat hingga tiba di Bani Quraidlah meski waktu Ashar sudah habis, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang di antara kalian jangan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidlah.”, maka sebagian ada yang melaksanakan shalat tepat pada waktunya dan berkata: ‘Sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan kita bersegera untuk berangkat berperang, bukan menginginkan untuk mengakhirkan shalat pada waktunya’, mereka inilah yang benar.
Walaupun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencerca salah satu dari dua kelompok ini, dan seseorang di antara mereka tidak menimbulkan permusuhan kepada yang lain, atau menimbulkan kebencian yang disebabkan perselisihan mereka dalam memahami nash.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa yang wajib bagi kaum muslimin yang bepegang kepada sunnah untuk menjadi umat yang satu dan jangan sampai menjadi berpartai-partai, golongan ini hanya mau dengan kelompoknya sendiri, partai ini hanya konsisten dengan partai yang lain, dan partai yang ketiga konsisten dengan partai ketiga, demikian terus hingga mereka saling bertengkar, adu mulut, saling membenci dan saling memusuhi dikarenakan perselisihan dalam perkara-perkara yang sebenarnya diperbolehkan berijtihad. Masing-masing golongan tidak perlu megkhususkan partainya sendiri, dan orang yang cerdik akan mudah memahami perkara ini.
Saya berpendapat bahwa ahlus sunnah wal jama’ah wajib bersatu, meskipun terjadi perselisihan yang disebabkan perbedaan faham tentang maksud suatu nash, karena ini termasuk perkara-perkara yang alhamdulillah ada kelonggaran. Yang terpenting adalah saling berkasih sayangnya hati dan bersatunya kalimat. Tidak diragukan lagi bahwa musuh-musuh Islam senang bila kaum muslimin berpecah belah. Baik musuh yang terang-terangan memusuhi ataupun musuh yang menampakkan loyalitasnya kepada kaum muslimin atau dienul Islam, padahal hakekatnya mereka membenci
Yang wajib bagi kita adalah memilih sepakat di atas kalimat yang satu. Itulah keistimewaan firqah najiyah.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Kitabul Buyu’, Bab Idza Bayyana Albai’ani Walam Yaktuma wa Nasahaa, no. 2079. Dan Muslim dalam Kitabul Buyu’, Bab As-Sidqu Fil Bai’i wal Bayan, no. 1532
[2]. HR Bukhari : 946 dan Muslim :1770
 
Copyright © 2014 Risalahilmiyah.net. Blogger Templates Designed by OddThemes - DesignsRock