HEADLINES

Sabtu, 11 Mei 2013

KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG MENGUSAP MUKA DENGAN KEDUA TANGAN SESUDAH SELESAI BERDO'A

Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo'a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; "Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudaraku

Hadits Pertama

عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِذَا دَعَوْتَ اللَّه فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ، وَلاَتَدْعُ بِظُهُوْرِهِمَا، فَاِذَا فَرَغتَ فَامسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]

Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.
2. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla'if.”
3. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.
4. Kata Imam Nasa'I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”
5. Kata Imam Ibnu Ma'in, Dia itu dla'if.
6. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah".
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]

Hadits Kedua
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]

Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :

1. IBNU LAHI'AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
2. HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul 'Itidal jilid I halaman. 569].

Hadits Ketiga
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Tirmidzi]

Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

1. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
2. Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’anya".
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].

Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :

1. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
3. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
4. Oleh Abu Musa Al-Asy'ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
5. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
6. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
7. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
8. Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).

Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

اِذَا سَأَلْتُمُ اللّه فَاسْأَلُوْهُ بِبُطُوْنِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوْهُ بِظُهُوْ رِهَا

"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)". [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]

Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :

اَلْمَسْأَلَةُ أَنْ تَرْفَعَ يَدَ يْكَ حَذْ وَمَنكِبَيْكَ

"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu". [Riwayat Abu Dawud No. 1489]

Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.

Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.
"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Surat Al-Mu'minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu". (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu".[Shahih Riwayat Muslim 3/85]

Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]

KESIMPULAN
1. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dla'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
2. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.
3. Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah.
4. Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]

[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam, Komp Depkes Jl. Rawa Bambu Raya No. A2 Pasar Minggu, Jakarta. Cetakan III Th 1423H/2002M]
_______
Footnote
[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya Ibnu Lahi’ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.
[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah : (1). Sunnat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan. (2). Bertawwassul di dalam berdo’a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi. (3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal. (4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram. (5). Salah satu syarat diterimanya do’a ialah dengan makan dan minum yang halal. (6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do’a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.
[3]. Ditulis tanggal 5-10-1985

 Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat 

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2277/slash/0/kelemahan-hadits-hadits-tentang-mengusap-muka-dengan-kedua-tangan-sesudah-selesai-berdoa/


Minggu, 28 April 2013

Kisah Wanita Bercadar Bermata Biru


Diceritakan seorang wanita muslimah bercadar sedang berbelanja di salah satu super market di Perancis. Setelah selesai mendapatkan barang-barang yang dibutuhkannya, dia segera pergi ke kasir untuk membayar. Kebetulan kasir yang ditujunya adalah seorang wanita keturunan Arab yang berpakaian tidak menutup auratnya. Kasir tersebut memandang wanita bercadar itu dengan pandangan melecehkan, kemudian dia mulai menghitung nilai barang belanjaan wanita tersebut sambil melemparkannya dengan kasar ke atas meja. Namun wanita bercadar itu tidak terpengaruh dengan provokasi sang kasir, dia tetap tenang, bahkan sangat tenang, hingga membuat sang kasir semakin geram dan tidak dapat lagi menguasai diri, lalu berkata dengan nada melecehkan, "Kita mempunyai berbagai problem dan permasalahan di Perancis dan cadar kamu ini adalah salah satu problem. Kita di sini untuk berbisnis, bukan untuk pamer agama maupun sejarah. Kalau kamu mau menjalani agama atau mengenakan cadar, pergilah sanake negerimu dan jalani agamamu sesukamu...!!"Wanita bercadar itu berhenti memasukkan barang belanjaannya ke dalam tas, lalu memandang sang kasir, lalu dia membuka cadarnya dan ternyata dia adalah wanita kulit putih, dengan sepasang mata biru, lalu dia berkata, "Aku adalah wanita Perancis asli, begitu pula ayah dan kakekku. Ini adalah Islam-ku dan ini adalah negeriku. Kalian telah menjual agama kalian, sementara kami membelinya..."
 Subhaanallaah...!!
 Allah Ta'ala berfirman, artinya,"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita." (QS. Al-Ahqaaf:13)

 Semoga kisah sederhana ini dapat memberikan pelajaran yang berharga kepada kita agar tetap bangga dan menjunjung tinggi syariat yang mulia dan memberikan suport dan motivasi agar kita selalu istiqamah dalam kondisi dan situasi apapun serta di manapun kita berada.... Aamiin. (Diterjemahkan dari kisah dalam situs berbahasa Arab dengan sumber yang dapat dipercaya)

 Sumber: Afrahsungkar.tumblr.com
http://fadhlihsan.blogspot.com

DIMANA A L L A H ?

  Dapat memberi jawaban dan penjelasan yang benar tantang aqidah
 Ahlus Sunnah wal Jama'ah kepada Kaum muslimin.Insyaa Allahu Ta'ala.

 Di mana Allah ?

 Itulah pertanyaan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu'awiyah bin Hakam as Sulamiy sebagai ujian ke imanan sebelum dia di merdekakan oleh tuanya.

 Beliau bertanya kepada budak perempuan itu"Di manakah Allah? Jawab budak perempuan"DI ATAS LANGIT."Beliau bertanya lagi,siapakah aku ? Jawab budak perempuan"Engkau adalah RASULULLAH."Beliau bersabda:
 Merdekakan dia ! Karena sesungguhnya dia seorang mu'minah(perempuan yang beriman)

 Shahi di keluarkanoleh jama'ah ahli Hadist di antaranya:

 1.Imam Malik(Tanwiruk Hawaalik Syarah Muwaththa juz 3 hal 5-6 oleh Iman as Suyuthi).

 2.Imam Muslim juz 2 hal 70-71

 3.Imam Abu Dawud(no.930-931

 4.Imam Nasa'I juz 3 hal 13-14

 5.Imam Ahmad juz 5 hal 447-449

 6.Imam Darimi juz 1 hal 353-354

 7.Imam Abu Dawud ath Thayaalisy di Musnad nya (no.1105)

 8.Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya al Muntaqa (no.212)

 9.Imam Baihaqi di Kitabnya Sunnatul Kubra juz 2 hal 249-250

 10.Imam Ibnu khuzaimah di kitabnya at Tauhid hal 121-122

 11.Iman Ibnu Abi'Ashim di kitabnya as Sunnah(no.4x9 di takhrij oleh Syaikh Albani).

 12.Iman Utsman bin said Darimi di kitabnya ar Raddu'Alal jahmiyah(no.60-61& 62 hal 38-39).

 13 Imam al Laalika I di kitabnya as Sunnah no.652 dan lain2.

 Pembahasan"

 Hadis yang mulia ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga Ahlul bid'ah dari kaum jahmiyyah dan Mu'tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam abu Hasan Ali Bin Ismail al Asy ariy,yaitu mereka yang mempunyai I'tiqad : لِلّهِ berada di setiap tempat atau لِلّهِ berada di mana2 ?

 Dalil dari AL QUR'AN
 (Surat An Nur ayat 16)

 (Surat An'am ayat 100)

 (Surat Al Isra ayat 43)

 (Surat al Baqarah ayat 22)

 (Al Maidah ayat 26)

 (Surat asy syura :11)

 (Surat al Ikhlas:4)

 (Surat al A'raf :54)

 (Surat Thaha:5)

 Dan masih banyak Dalil baik dari Hadist maupun dari Al Qur'an yang tak mungkin ana sebutkan satu persatu..

 Di kutip dari Buku Al Masaa-il.
 Abdul Hakim bin Amir Abdat
 Jilid 1 penerbit Darus Sunnah.

Jumat, 26 April 2013

Pakaian Wanita Saat Sholat

Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Tiap wanita hendaknya memperhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.

 Di masa jahiliyah, kata Ibnu ‘Abbas, wanita biasa thawaf di Ka`bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair:

 Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
 Maka apa yang nampak darinya tidaklah daku halalkan

 Maka turunlah ayat:

 “Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju masjid”. (Al-A`raf: 31) [Shahih, HR. Muslim no. 3028]

 Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dulunya orang-orang jahiliyah thawaf di Ka`bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliyah ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya:

 “Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali shalat di masjid”. (Al-A`raf: 31)

 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لا يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَان

 “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka`bah”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162-163]

 Hadits di atas selain disebutkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, pada kitab Al-Haj bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam kitab Ash-Shalah berkata: “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari adalah bila dalam thawaf dilarang telanjang maka pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi karena apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat”. (Fathul Bari, 1/582)

 Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih.” (Fathul Qadir, 2/200).

 Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dengan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dengan aurat wanita.

 Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah maka tidak boleh seseorang shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun ia berada sendirian di malam hari. Maka dengan ini diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukan karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia, karena ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dengan pakaian yang dikenakan ketika shalat”. (Majmu` Fatawa, 22/113-114)

 Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau dan kotor misalnya. Namun perlu memperhatikan sisi keindahan dan kebersihan, karena Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah karena dia akan ber-munajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 43, sebagaimana dinukil dalam Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni‘, 2/145.

 Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

 Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
 Bersih dari najis
 Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/ melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal).
 Pakaian tersebut tidak membuat bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam Asy-Syarhul Mumti‘, 2/148-151)

 Bagian Tubuh yang Harus Ditutup

 Berkata Al-Khaththabi rahimahullah: “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya. Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Auza`i berkata: ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajahnya dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas dan ‘Atha. Lain lagi yang dikatakan Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam: ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat sampaipun kukunya.’ Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau menyatakan: ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatupun dari anggota tubuhnya tidak terkecuali kukunya’.” (Ma`alimus Sunan, 2/343)2.

 Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (Asy-Syarhul Mumti`, 2/156). Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa nampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan dan telapak kaki. (Majmu` Fatawa, 22/109-120)

 Dengan demikian ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa, 1/333-334). Walaupun yang lebih utama bila ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu‘ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

 Dan bila ada laki-laki yang bukan mahramnya maka ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/157). (bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah, red)

 Pakaian Wanita di Dalam Shalat

 Di sekitar kita banyak kita jumpai wanita shalat dengan mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena, terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat. Bila ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!” Maka kita katakan pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat, karena pakaian demikian tidak mencukupi untuk menutup aurat sementara wanita ketika shalat tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu` Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas).

 Terlebih lagi pelarangannya bahkan pengharamannya bila pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.

 Bila demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?

 Permasalahan pakaian wanita di dalam shalat ini datang penyebutannya dalam beberapa hadits yang marfu‘ namun kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama, seperti hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

 لا يَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ حَائِضٍ إِلا بِخِمَارٍ

 “Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (baligh) kecuali bila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya)”. (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)

 Hadits ini kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam At-Talkhisul Habir (2/460) dianggap cacat oleh Ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai shahabat)), sedangkan Al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah).

 Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira`3 dan kerudung tanpa izar4?”

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

 إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ

 “(Boleh), apabila dira`nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya”. (HR. Abu Dawud no. 640)

 Hadits Ummu Salamah ini tidak shahih sanadnya baik secara marfu’ maupun mauquf karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, sementara dia rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 161.

 Walaupun demikian, ada riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.

 Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata: “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan dira‘ dan kerudung.” (Al-Mushannaf, 3/128)5.

 Ubaidullah Al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira` dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf)6

 Masih ada atsar lain dalam permasalahan ini yang kesemuanya menunjukkan shalatnya wanita dengan mengenakan dira‘ dan kerudung adalah perkara yang biasa dan dikenal di kalangan para shahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.

 Bila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat maka ia menambahkan izar atau jilbab pada dira‘ dan kerudungnya. Dan ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Dengan dalil riwayat dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung dan izar. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih, lihat Tamamul Minnah, hal. 162).

 Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira‘ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hal. 100).

 Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira` yaitu pakaian yang sama dengan gamis hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak kaki, kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira`. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Ubaidah As-Salmani dan ‘Atha. Dan ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i rahimahullah, beliau berkata: “Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira` dan kerudung, bila menambahkan pakaian lain maka itu lebih baik dan lebih menutup.” (Al-Mughni, 1/351)

 Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian, dira`, kerudung dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya atau kain sarung di bawah dira` atau sirwal (celana panjang yang sangat lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan milhafah.’ ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar dan dira`, ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata: ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian bila ia mendapatkannya yaitu kerudung, izar dan dira`.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 4/322)

 Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?

 Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan seluruh tubuhnya kecuali wajah. Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/165)

 Berkata Ikrimah: “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shalah bab Berapa pakaian yang boleh dikenakan wanita ketika shalat).

 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan: “Ibnul Mundzir setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira` dan kerudung, beliau berkata: ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’ Ibnul Mundzir juga berkata: ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ bahwasanya ia berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan izar’, demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab7.” (Fathul Bari, 1/602-603)

 Mujahid dan ‘Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, lalu apa yang harus dilakukannya? Mereka menjawab: “Ia berselimut dengannya.” Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)

 Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat.

 Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawab.

 Footnote:

 1) Zinah adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri, (Mukhtarush Shihah, hal. 139), seperti pakaian.
 2) Sebagaimana dinukil dalam Jami’ Ahkamin Nisa, 1/321
 3) Dira’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Asy-Syarhul Mumti’, 2/164).
 4) Izar adalah milhafah (Al-Qamushul Muhith, hal. 309), makna milhafah sendiri diterangkan dalam Al-Qamush (hal. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian (sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab. Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 2/164-165)
 5) Isnadnya sahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 162)
 6) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.
 7) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.

 Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah

 Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/Agustus 2003/Jumadil Akhir 1424H, kategori: Wanita dalam Sorotan, hal. 70-74. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=121
sumber gambar :  http://dzulkiflialjawwaad.blogspot.com/2013/05/pakaian-wanita-dalam-shalat.html

Kamis, 18 April 2013

MUTIARA NESEHAT ULAMA UMAT






#Tabligh Akbar Bersama Ulama Kota Nabi, Madinah Al Munawwarah: Syaikh Prof. Dr. Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al Abbad* Di Yogyakarta#

Guru Besar Akidah Universitas Islam Madinah, Pengajar Tetap Di Masjid Nabawi

Ahad, 21 April 2013
Ba'da Maghrib-Selesai
Masjid Kampus UGM

Senin, 22 April 2013
Ba'da Subuh-Selesai
Islamic Center Bin Baz

Informasi: 085799205557

Penyelanggara
Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari
Yayasan Majelis At Turots Al Islami

Disiarkan langsung
www.radiomuslim.com
www.radiomedinah.com

Rabu, 10 April 2013

Syaikh Osama bin Laden Rahimahullah di Mata Ulama Ahlus Sunnah





Berikut ini kami hadirkan pandangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, & Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah) terhadap Syaikh Usamah bin Laden rahimahullah (pimpinan jaringan Al-Qaeda). Semoga bermanfaat.


Perkataan Syaikh Bin Baz tentang Usamah bin Laden

Benarlah ucapan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah tentang dia:
“Usamah bin Laden termasuk orang-orang (mufsidin) yang membuat kerusakan di muka bumi. Dia memilih jalan-jalan kejelekan yang merusak dan tidak mau taat kepada ulil amri (pemerintah dan ulama).” (Surat Kabar Al-Muslimun 9-05-1417 H)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah telah memperingatkan dari Usamah bin Laden dalam banyak kesempatan, di antaranya:
“Adapun yang sekarang dilakukan Muhammad Al-Mis’ari, Sa’ad Al-Faqih dan yang semisalnya dari para penyebar dakwah-dakwah perusak yang sesat, maka ini tidak diragukan lagi merupakan kejelekan yang besar. Mereka ini menyeru kepada kejelekan yang besar dan kerusakan yang besar. Wajib berhati-hati dari selebaran mereka, wajib memusnahkannya dan tidak bekerja sama bersama mereka dalam perkara apapun yang mengajak kepada kerusakan, kejelekan, kebathilan dan fitnah. Karena Allah memerintahkan untuk ta’awwun (bekerja sama) dalam kebaikan dan melarang dalam kerusakan, kejelekan, penyebaran kedustaan dan penyebaran seruan-seruan bathil yang menyebabkan perpecahan, terganggunya stabilitas keamanan, serta yang lainnya.

Selebaran-selebaran yang berasal dari Sa’ad Al-Faqih atau dari Al-Mis’ari atau para penyeru kebathilan, kejelekan dan perpecahan lainnya, wajib untuk diberangus dan dimusnahkan dan tidak diperhatikan. Wajib menasehati mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran. Wajib memperingatkan mereka dari kebathilan ini. Tidak boleh seseorang untuk bekerja sama dengan mereka dalam kejelekan ini. Wajib mereka dinasehati dan kembali kepada petunjuk dan meninggalkan kebathilan ini.
Nasehatku untuk Al-Mis’ari, Al-Faqih dan Usamah bin Laden serta semua orang yang menempuh jalan mereka untuk meninggalkan jalan yang berbahaya ini. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati dari siksa dan kemurkaan-Nya. Hendaklah mereka kembali kepada petunjuk dan bertaubat kepada Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang dulu. Dan Allah telah menjanjikan para hamba-Nya yang bertaubat akan menerima taubat mereka dan akan berbuat baik kepada mereka…” (Majmu Al-Fatawa Karya Syaikh Bin Baz 9/100)

Ucapan Syaikh Muqbil tentang Usamah bin Laden

Sedangkan Ulama Negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata: “Aku berlepas diri kepada Allah dari Usamah bin Laden. Dia itu celaka dan musibah bagi ummat Islam. Perbuatan-perbuatannya sangat jelek.” (Surat Kabar Ar-Ra’yi Al-‘Am Al-Kuwaitiyyah tertanggal 19-12-1998 vol 11503.)

Syaikh Mukbil rahimahullah juga berkata:
“Dan termasuk contoh fitnah ini adalah fitnah yang hampir menimpa Negara Yaman dari arah Usamah bin Laden, ketika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin jumlah 20.000 real Saudi. Kami ingin membangun sebuah masjid di wilayah …..’ Kemudian dia menjawab: ‘Kami tidak punya kemampuan. Kami akan memberi -Insya Allah- sesuai dengan kemampuan kami.’ Tetapi jika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin cannon, senjata api dan lainnya.’ Dia akan menjawab: ‘Ambil 100.000 real ini atau lebih. Insya Allah akan datang lagi’.” (Tuhfatul Mujib hal 283 karya Syaikh Mukbil)

Perhatikan orang yang menyimpang ini. Bagaimana dia menimbulkan fitnah dengan sebutan jihad. Memang benar dia seorang pengaku jihad dan salah satu tokoh kesesatan dan pengrusakan.

Dia juga memprovokasi orang-orang untuk melakukan teror pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan menyebut mereka sebagai orang yang mati syahid. Allah lah tempat meminta pertolongan dari orang seperti ini dan perbuatannya.

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Usamah bin Laden

Beliau berkata:
“Termasuk tabiat manusia, khususnya para wartawan, sangat perhatian dengan berbagai peristiwa, banyaknya pembicaraan tentangnya, dan fenomena-fenomenanya. Dan sedikit di antara mereka yang memperhatikan faktor dan rahasia-rahasianya.

Banyak pembicaraan di media masa audio dan video, koran-koran, dan internet tentang kejadian Afganistan, Iraq dan peristiwa-peristiwa pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan lainnya.

Banyak orang mengaitkan perbuatan ini dengan Jaringan Al-Qaedah yang dipimpin oleh Usamah bin Laden dan pengikutnya semata.

Dimana Usamah bin Laden telah menjadikan orang-orang bodoh dari mereka sebagai para pahlawan Islam mujahid, meskipun mereka adalah orang yang paling cepat larinya dari peperangan. Kebanyakan mereka bersembunyi di gua (dan tempat lainnya, admin), atau hidup di negeri kafir untuk mengatur siasat terhadap kaum muslimin dan berusaha untuk menumpahkan darah mereka.

Meskipun usaha mereka tidaklah mewujudkan kecuali merendahkan kaum muslimin dan meruntuhkan negara-negara mereka, dan tidak menciptakan kecuali kesempatan untuk musuh-musuh Islam dan mempermudah mereka menguasai kaum muslimin.

Kami tidak mengetahui apa analogi kepahlawanan menurut orang-orang ini. Apakah usaha untuk menyerahkan para pemuda Islam kepada musuh, dan mengorbankan mereka seperti ayam dan menjadikan mereka sebagai mangsa dan tawanan seperti burung dara.

Padahal para pemuda yang diprovokasi itu tidak bisa membela diri mereka, terlebih lagi menguasai sarana-prasarana untuk mengalahkan musuh. Betapa besar semangat musuh Islam atas perang yang gagal ini.

Kelompok yang aneh ini memprovokasi para pemuda untuk menyeret kaum muslimin kepada peristiwa-peristiwa berdarah seperti pengeboman dan pengrusakan …

Kaum muslimin tidak sempat bersikap kecuali terkejut dengan banyaknya pembicaraan antara pihak yang pro dan kontra. Sampai batas ini saja berakhir pandangan mereka. Dan sangat sedikit orang yang menunjukkan asal musibah ini.

Kenyataan yang pahit bahwa perbuatan Usamah bin Laden dan orang-orang yang mengikutinya, tidak lain adalah buah dari sebuah pemikiran dan prinsip yang dibawa oleh tulisan-tulisan yang disebarkan di semua media masa, percetakan, dan distribusi dalam berbagai bahasa. Pemikiran ini telah mengisi perpustakaan-perpustakaan. Isinya telah menyusup ke sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Pemikiran itu telah mengisi benak banyak pemuda, bahkan sampai ke pedalaman dan hutan belantara. Ketahuilah penyebab itu asalnya adalah kitab-kitab dan prinsip Sayyid Qutb.

Namun banjir pemikiran Sayyid Qutb yang deras ini, malah mendapati pujian dan promosi dari berbagai media masa, para pengajar dan pendidik. Barangsiapa yang berusaha menghentikannya, dia akan dimusuhi …

Kitab-kitab Sayyid Qutb itu merupakan sumber fitnah, terorisme, pengrusakan di negeri-negeri Islam dan lainnya, karena mengandung berbagai macam pengrusakan asas, aqidah (keyakinan) dan prinsip Islam.” (Yanbu’ Al-Fitan Wa Al-Ahdats dengan penyesuaian).

Disalin dari http://www.udrus-assunnah.co.cc/

 

Kamis, 04 April 2013

7 PUASA-PUASA SUNNAH YANG PERLU KITA KETAHUI





 Puasa sunnah adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dianjurkan untuk dikerjakan, yaitu:

 1. Puasa 6 hari dibulan syawwal

Berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Raulullah shallahu ‘alaihi wasallambersabda:

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

 “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari dibulan syawwal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR.Muslim: 1164 )

 Hadits ini merupakan nash yang jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa enam hari dibulan syawwal. Adapun sebab mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menyamakannya dengan puasa setahun lamanya, telah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata:

 “berkata para ulama: sesungguhnya amalan tersebut sama kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun,sebab satu kebaikannya nilainya sama dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan,dan enam hari sama seperti dua bulan.” (Syarah Nawawi:8/56)

 Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

 صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

 “Berpuasa ramadhan seimbang dengan sepuluh bulan,dan berpuasa enam hari seimbang dengan dua bulan,maka yang demikian itu sama dengan berpuasa setahun.” (HR.Nasaai dalam Al-kubra (2860),Al-Baihaqi (4/293),dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (4/107).

 2. Puasa senin dan kamis

 Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari senin? Maka beliau menjawab:

 ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فيه وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أو أُنْزِلَ عَلَيَّ فيه

 “Itu adalah hari yang aku dilahirkan padanya,dan aku diutus,atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR.Muslim:1162)

 Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya dari Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya tentang puasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam, maka beliau menjawab:

 وَكَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ

 “Adalah beliau senantiasa menjaga puasa pada hari senin dan kamis” (HR.Tirmidzi (745),Ibnu Majah:1739,An-Nassai (2187),Ibnu Hibban (3643).dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah)

 Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari senin dan kamis. Lalu ada yang bertanya: sesungguhnya engkau senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis? Beliau menjawab:

 تُفَتَّحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يوم الإثنين وَالْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ فِيهِمَا لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شيئا إلا الْمُهْتَجِرَيْنِ يُقَالُ رُدُّوا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا

 “Dibuka pintu-pintu surga pada hari senin dan kamis,lalu diampuni (dosa) setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,kecuali dua orang yang saling bertikai,dikatakan: biarkan mereka berdua sampai keduanya berbaikan.” (HR.Tirmidzi (2023),Ibnu Majah (1740),dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi dan Ibnu Majah)

 3. Puasa Dawud Alaihissalam

 Berdasarkan hadits yang datang dari Abdullah bin Amr bin ‘Al-Ash radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda

 أَحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كان يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إلى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ كان يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

 “Puasa yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah puasa Dawud,beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya Dawud,beliau tidur dipertengahan malam,lalu bangun (shalat) pada sepertiga malam,dan tidur pada seperenamnya.” (HR.Bukhari :3238,dan Muslim:1159)

 Dalam riwayat lain beliau shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

 لَا صَوْمَ فَوْقَ صَوْمِ دَاوُدَ عليه السَّلَام شَطْرَ الدَّهَرِ صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا

 “Tidak ada puasa (yang lebih utama) diatas puasa Dawud Alaihisssalam,setengah tahun,berpuasalah sehari dan berbukalah sehari.” (HR.Bukhari: 1879,Muslim:1159)

 4. Puasa tiga hari dalam sebulan

 Berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berkata kepadanya:

 وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فإن لك بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فإن ذلك صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

 “Dan sesungguhnya cukup bagimu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,karena sesungguhnya bagimu pada setiap kebaikan mendapat sepuluh kali semisalnya,maka itu sama dengan berpuasa setahun penuh.” (HR.Bukhari:1874,Muslim:1159)

 Juga diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya oleh Mu’adzah Al-Adawiyyah: apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam senantiasa berpuasa tiga hari dalam setiap bulan? Maka beliau menjawab: iya.Lalu ditanya lagi: pada hari yang mana dari bulan tersebut? Beliau menjawab:

 لم يَكُنْ يُبَالِي من أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ

 “Beliau tidak peduli dihari yang mana dari bulan tersebut ia berpuasa.” (HR.Muslim:1160)

 Juga dari hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

 أَوْصَانِي خَلِيلِي e بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ من كل شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قبل أَنْ أَنَامَ

 “Teman setiaku Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memberi wasiat kepadaku untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,mengerjakan shalat dua raka’at dhuha,dan agar aku mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (HR.Bukhari:1180)

 Hadits ini menjelaskan bahwa diperbolehkan pada hari yang mana saja dari bulan tersebut ia berpuasa,maka ia telah mengamalkan sunnah.Namun jika ia ingin mengamalkan yang lebih utama lagi,maka dianjurkan untuk berpuasa pada pertengahan bulan hijriyyah, yaitu tanggal 13,14 dan 15. Hal ini berdasarkan hadits yang datang dari Abu Dzar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

 يا أَبَا ذَرٍّ إذا صُمْتَ من الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

 “Wahai Abu Dzar,jika engkau hendak berpuasa tiga hari dalam sebulan,maka berpuasalah pada hari ketiga belas,empat belas dan lima belas.” (HR.Tirmidzi:761,An-Nasaai:2424,ahmad:5/162,Ibnu Khuzaimah: 2128,Al-Baihaqi: 4/292.Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’:4/101-102)

 Puasa tiga hari dipertengahan bulan ini disebut dengan hari-hari putih. Dalam riwayat lain dari hadits Abu Dzar radhiallahu’anhu,beliau berkata:

 أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ e أَنْ نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاثَةَ أَيَّامِ الْبِيضِ ثَلاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

 “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memerintah kami untuk berpuasa tiga hari-hari putih dalam setiap bulan:13,14 dan 15.” (HR.Ibnu Hibban:3656)

 disebut sebagai “hari-hari putih” disebabkan karena malam-malam yang terdapat pada tanggal tersebut bulan bersinar putih dan terang benderang. (lihat:fathul Bari:4/226)

 Yang lebih menunjukkan keutamaan yang besar dalam berpuasa pada hari-hari putih tersebut, dimana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan amalan ini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

 كان رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لا يَدَعُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيضِ في سَفَرٍ وَلا حَضَرٍ

 “Adalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari putih,baik diwaktu safar maupun disaat mukim.” (HR.At-thabarani: ,dishahihkan Al-Albani dalam shahihul jami’:4848).

 5. Puasa Arafah

 Berdasarkan hadits Abu Qatadah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari arafah, Beliau menjawab:

 يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

 “Menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR.Muslim:1162)

 Kecuali bagi mereka yang sedang wukuf di Arafah dalam rangka menunaikan ibadah haji,maka tidak dianjurkan berpuasa pada hari itu. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berbuka di Arafah,Ummul Fadhl mengirimkan segelas susu kepada beliau,lalu beliau meminumnya.” (HR.Tirmidzi: 750,dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

 Juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu bahwa beliau ditanya tentang hukum berpuasa pada hari Arafah di Arafah?,beliau menjawab”

 حَجَجْتُ مع النبي e فلم يَصُمْهُ وَمَعَ أبي بَكْرٍ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فلم يَصُمْهُ وأنا لَا أَصُومُهُ ولا آمُرُ بِهِ ولا أَنْهَى عنه

 “Aku menunaikan ibadah haji bersama Nabi shallahu ‘alaihi wasalam dan beliau tidak berpuasa pada hari itu,aku bersama Abu Bakar radhiallahu’anhu beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Umar dan beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Utsman dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Dan akupun tidak berpuasa padanya,dan aku tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.” (HR.Tirmidzi:751.Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

 6. Puasa dibulan muharram,khususnya pada hari ‘Asyura (10 muharram)

 Bulan muharram adalah bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak berpuasa padanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

 أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

 “Puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah bulan Allah: muharram,dan shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR.Muslim:1163)

 Dan diantara hari-hari dibulan tersebut,lebih dianjurkan lagi berpuasa pada hari Asyura,yaitu tanggal 10 muharram. Banyak hadits-hadits yang menunjukkan sangat dianjurkannya berpuasa pada hari ‘Asyura. Diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:

 كان رسول اللَّهِ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فلما فُرِضَ رَمَضَانُ كان من شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

 "Adalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memerintahkan (perintah yang mewajibkan) puasa pada hari ‘Asyura. Maka tatkala telah diwajibkannya ramadhan,maka siapa yang ingin berpuasa maka silahkan dan siapa yang ingin berbuka juga boleh.” (HR.Bukhari:1897,Muslim: 1125)

 Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:

 يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

 “Menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim:1162)

 Dan juga dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.” (HR.Muslim:1134)

 7. Puasa dibulan Sya’ban

 Diantara bulan yang dianjurkan memperbanyak puasa adalah dibulan sya’ban. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:

 فما رأيت رَسُولَ اللَّهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إلا رَمَضَانَ وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا منه في شَعْبَانَ

 “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali ramadhan,dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dari bulan sya’ban,” (HR.Bukhari:1868)

 Kecuali pada hari-hari terakhir,sehari atau dua hari sebelum ramadhan ,tidak diperbolehkan berpuasa pada hari itu,terkecuali seseorang yang menjadi hari kebiasaannya berpuasa maka dibolehkan,seperti seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis,lalu sehari atau dua hari tersebut bertepatan dengan hari senin atau kamis. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bahwa beliau bersabda:

 لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ ولا يَوْمَيْنِ إلا رَجُلٌ كان يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

 “Janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari,kecuali seseorang yang biasa berpuasa pada hari itu maka boleh baginya berpuasa. (HR.Muslim:1082)

 Semoga Allah senantiasa menambah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh kita yang senantiasa diterima disisi-Nya.

oleh : status fb > ikhwan al firqatin najiah
 
Copyright © 2014 Risalahilmiyah.net. Blogger Templates Designed by OddThemes - DesignsRock