HEADLINES

Sabtu, 23 Maret 2013

Menyingkat Shalawat dengan SAW



Oleh: Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)


Soal:

Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)

=

Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.

=

Selengkapnya baca di (sumber, lihat komentar):

JANGAN MERASA BENAR SENDIRI




Ucapan ini, "jangan merasa benar sendiri" kerap kali terdengar ketika ada dua orang atau beberapa orang yang saling berselisih tentang suatu permasalahan, khususnya dalam permasalahan agama..

Ketika ada seseorang menjelaskan bahwa (misalnya) ini keliru itu keliru, yang bener ini dan itu, begini penjelasannya, ini hujjahnya, dst... Maka biasanya (oleh orang yang tidak setuju) langsung di timpali dengan berkata : "Jangan merasa benar sendiri.."

Untuk itu.. Marilah kita menelaah maksud dari perkataan ini, sehingga kita tidak salah dalam menempatkan kalimat ini dalam permasalahan yang tidak sepantasnya kalimat ini diucapkan..

Maka kita perlu mengetahui beberapa point berikut sebagai tanggapan ucapan tersebut :


PERTAMA :

Kita memeluk AGAMA ISLAM, karena KEBENARANnya dan kita MEYAKINI akan kebenaran tersebut. Demikian halnya segala sesuatu yang didalamnya, yakni SYARI’ATnya. SYARI’AT yang datang dari Allah TELAH JELAS dan SEMUANYA telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya..


KEDUA :

Hikmah diturunkan Al Qur-aan dan diutusnya Rasul adalah MENEGAKKAN kebenaran, yang dengannya Allah membantah KEBATHILAN ahlul baathil dan merendahkannya, serta meninggikan ahlul haq..


KETIGA :

Maka dengan melihat point KEDUA, tidak boleh lagi ada yang berkata : "Jangan engkau katakan ini sesat, itu sesat.. Karena yang lebih tahu tentang sesat atau tidaknya adalah Allah.. Hanya Allah-lah yang benar.."

Maka kita katakan :

- Jika seseorang mengatakan “ini sesat, itu sesat” TANPA berlandaskan HUJJAH, maka tentu saja ini adalah kebodohan.. Sesat apakah yang dimaksudkannya..?? Sesat dari jalan mana..?? Kalau ia mengatakan “sesat dari jalan Allah”: Maka kita katakan : "datangkanlah HUJJAH, dijalan Allah manakah kesesatan tersebut" Janganlah sampai kita mengadakan kedustaan atas nama Allah !! Ingatlah ini merupakan suatu dosa yang sangat besar..

Tapi... Yang sering jadi permasalahan dalam hal ini adalah :

Ketika seseorang malah disalahkan ketika ia menjelaskan kesesatan terhadap sesuatu yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya akan kesesatan hal tersebut.. Inilah yang kerap teradi.

Kita mengimani bahwa Allah telah menurunkan Al Qur-aan sebagai Al Furqaan (pembeda yang haq dan yang baathil, yang lurus dan yang sesat). Maka : Jika apa yang dikatakan sesat oleh Al qur aan, maka itulah kesesatan..

Kita juga telah mengimani bahwa Allah telah mengutus RasulNya untuk MENJELASKAN Al Qur-aan dan untuk menjadi hakim atas segala perselisihan manusia tentang agamanya..

Maka : Apa yang dikatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka itulah kesesatan..

Benar.. Bahwa Allah, Dialah Yang Benar (al-Haq)

Tapi ketahuilah.. Al-haq tersebut telah ada ditengah-tengah kita dengan diturunkanNya al Qur-aan yang membawa kebenaran dan dengan diutusNya RasulNya yang memberi kabar gembira dan yang memberi peringatan (lihat al Isra: 105).

Apakah kita tidak mengakuinya..??
Apakah kita tidak mau merujuk dengannya untuk menyelesaikan permasalahan kita..??

Mungkin ada yang mengira bahwa pengingkaran terhadap kesesatan seperti ini adalah perpecahan, sehingga tidak boleh ada pengingkaran. Subhanallah..

Apakah yang dimaksud dengan perpecahan..??
Apakah yang dimaksud dengan persatuan..??

==>Yang dimaksud dengan perpecahan adalah orang yang menyelisihi kebenaran..

==>Sedangkan yang dimaksud dengan persatuan adalah orang yang mengikuti kebenaran..

Maka :

Orang-orang yang berkumpul diatas kesesatan, tidaklah disebut sebuah persatuan, dan tidak akan pernah umat ini berkumpul diatas kesesatan..

Akan selalu ada diantara umat ini yang akan tetap berada diatas kebenaran, menyelisihi kebathilan-kebathilan yang diperbuat oleh para pengikut hawa nafsu..

Dan.. Orang - orang yang hendak menghalang-halangi orang yang mengingkari kesesatan inilah yang patut untuk merenungi hal-hal berikut :

- Apakah engkau hendak membiarkan terjadinya kesesatan dalam agama ini..??

- Apakah engkau hendak meluaskan kesesatan dalam agama ini..??

- Apakah engkau mengira kesesatan tersebut merupakan kebenaran..??

- Atau apakah engkau hendak mengatakan kesesatan itu adalah bagian agama ini..??

Akan tetapi yang perlu diingat :

Seseorang yang mengingkari kesesatan HARUS SESUAI DENGAN SYARI’AT, bukan dengan cara-cara yang baathil.. Tidaklah kebathilan itu dilawan dengan cara-cara yang bathil pula..

Simak pembahasan tentang ini disini :

KEEMPAT :

Maka jika terjadi perselisihan, yang menghukumi benar atau salahnya adalah KITABULLAH dan SUNNAH Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menurut PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH.

Sehingga.. Tidak boleh ada berkata DIKEMBALIKAN KEPADA MASING MASING.. DIKEMBALIKAN PADA KYAI MASING MASING.. DIKEMBALIKAN PADA PENDAPAT MASING MASING.. Dst.. Tapi harus dikembalikan kepada Allah (kitabNya) dan RasulNya (sunnahnya) menurut PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH..

Kenapa harus mengembalikan kepada PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH..??

Karena bisa saja pihak yang MENCARI PEMBENARAN akan memakai dalil-dalil dari qur-aan dan sunnah dengan PEMAHAMANNYA MASING MASING tanpa merujuk pada pemahaman yang DIAKUI oleh Allah dan RasulNya, yaitu pemahaman para shahabat..

Maka orang yang mengatakan (kembali kepada al qur-aan dan as-sunnah, tapi dengan pemahamn masing-masing) tidak ada bedanya dengan golongan pertama yang berkata : "kembalikan saja pada masing-masing"


KELIMA :

Jika menurut al-qur’an dan as-sunnah sesuai pemahaman salafush shalih itu benar, maka kita benarkan..

Lantas.. APAKAH SALAH jika seseorang yang mengatakan DIRINYA BENAR, sedangkan ia berlandaskan dengan DALIL-DALIL yang SHAHIIH (diatas kitabullah dan sunnah rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam dengan PEMAHAMAN salafush shalih) ??!


KEENAM :

Perkataan “jangan merasa benar sendiri” ini, jika yang mengatakannya adalah orang yang berada diatas kebathilan.. Yakni orang yang terang2an menyelisihi tuntunan.. Maka ini hanyalah ANGAN-ANGAN KOSONGnya. Agar sekiranya (tujuannya) KEBATHILANnya juga DIANGGAP sebagai sebuah kebenaran..

Sehingga ia BERANGAN-ANGAN orang yang memang berada diatas kebenaran menerima kebathilannya, dan BERANGAN-ANGAN agar orang tersebut mengatakan: “engkau benar, akupun benar, dan kita tidak saling mengusik” mungkin itulah ANGAN-ANGANnya..


KETUJUH :

Jika orang yang berada diatas kebenaran disebut “merasa paling benar”, maka kita katakan :

Orang tersebut tidaklah ‘merasa’ tapi MEMANG ia berada diatas kebenaran..

Contoh.. Jika Seseorang berkata :

"Berdasarkan Ilmu Matematika, 2+2 adalah 4"

Apakah orang itu benar ATAU dia sedang merasa paling benar sendiri...??

Dan Jika Seseorang berkata :

"Berdasarkan Al-quran dan Hadist Rasulullah : Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat Syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka"

Atau ada yang berkata "

"Berdasar Hadits shahih : Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan agama, maka hal itu tertolak."

Apakah orang itu benar ATAU ia sedang merasa paling benar sendiri...??

Maka dari sini.. Jelaslah sudah bahwa sebenarnya sangat mudah membedakan antara : Orang yang benar dengan orang yang merasa benar sendiri..


KEDELAPAN :

Jika orang yang berada diatas kebathilan tersebut yang mengatakan perkataan "jangan merasa paling benar"

Maka kita katakan :

Yang seharusnya disebut “merasa paling benar” adalah justru pelaku kebathilan itu sendiri.. Bagaimana tidak..?? Mereka diseru untuk merujuk pada kebenaran, tapi mereka menolak..

Maka cukuplah bagi mereka sebutan : MERASA BENAR SENDIRI


Wallahu A'lam..

Sebagian tulisan diringkas secara bebas dari : abuzuhriy.com

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat..

Sabtu, 16 Maret 2013

PANDUAN HIDUP DI AKHIR ZAMAN

Hadirilah!
Kajian Islam Ilmiah

Tema:
Panduan Hidup di Akhir Zaman

Pemateri:
Ust. Badrussalam, Lc

Waktu:
Ahad, 31 Maret 2013
Pukul: 08.30 - 11.30

Tempat:
Masjid Kampus UGM (MASKAM)

CP: 0857.9920.5557



Selasa, 12 Maret 2013

ADA TANGAN HALUS YANG MENDIDIK MEREKA...


Di tahun 90-an ada seorang akhwat memakai CADAR
yang kuliah di Fakultas Kedokteran UGM.

Hal ini membuat gempar seluruh orang yang ada didalam maupun diluar UGM, karena saat itu masih sedikit yang belum paham serta merasa sangat aneh dengan perawakan wanita yang mengenakan cadar di lingkungan masyarakat kita.

Meski cemoohan datang tak terbendung, dengan perasaan penuh kesedihan.. ia tetap istiqomah untuk tetap mengenakan pakain tertutup dan rapat/cadar, sementara banyak wanita pada zaman itu berpakaian tapi telanjang, memamerkan auratnya kemana-mana..

Hal tersebut menimbulkan “persoalan”, lantaran pihak kampus mengancam dirinya bahwa ia akan di DO bila masih bercadar.

Hebatnya, akhwat tersebut tidak tinggal diam, dan kemudian memutuskan untuk bertemu dengan Rektor UGM.

Saat bertemu dengan Rektor UGM, kemudia ia menanyakan alasan kenapa ia akan dikeluarkan dari kampus ? apa salah dia? apa dengan cadar berarti dia berbuat kejahatan ?

Sang Rektor menjelaskan dengan baik bahwa kondisi kampus yang tidak bisa menerima wanita bercadar, akan menjelekkan nama kampus, akan membuat nilai akademik buruk, dan beragam alasan lainnya yang diutarakan oleh sang rektor.

Dengan tegas, santun, penuh kepercayaan diri penuh kecerdasan, sang akhwat kemudian berkata, "PAK REKTOR, SAYA AKAN BUKTIKAN KEPADA ANDA, UGM DAN ORANG LAIN BAHWA CADAR BUKANLAH PENGHAMBAT SESEORANG UNTUK SUKSES, CERDAS, DAN MAJU, SAYA AKAN KALAHKAN TEMAN-TEMAN SAYA, SAYA AKAN BUKTIKAN BAHWA SAYA BISA MENDAPATKAN NILAI YANG LEBIH BAIK DARI MEREKA SEMUA."

Usai melontarkan kalimat tersebut kamudian sang akhwat pun diberikan kesempatan oleh pihak kampus untuk membuktikan ucapannya.

walhasil akhir kisah wanita bercadar itu berhasil mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Dengan akhlak yang santun, kecerdasan, akidah yang lurus, dan keberanian diatas kebenaran dia membuktikan fitnah miring tentang wanita bercadar...
==========================================
Taukah antum siapa wanita bercadar itu?
Dialah yang kemudian menikah dengan ustadz Mujahid (Ustadz abu Kholil)...
selesai kuliah, ia dan suaminya tercinta pergi ke Negeri Yaman bersama dua orang putranya yang masih kelas 3 SD dan masih TK.

tau kah antum ?
dua anak putra mereka kini telah tumbuh dewasa.
anak pertama sekarang tahun 2011 berumur 19 tahun dan yang kedua berumur 16 tahun.

ada cerita yang membuat saya sangat takjub,
bahwa anak pertama mereka telah menamatkan SMA di Yaman,
dan kini anak itu telah menjadi Pemuda Tahfidzul Qur'an
menghafal 30 juz Al Qur'an,
dia juga hafal shahih Bukhari, dan dia juga hafal shahih muslim.

Sementara anak mereka yang kedua telah menghafal 20 juz Al Qur'an

mungkin ada yang berpendapat,
"ah biasa karena mereka tinggal di Yaman",
tapi taukah antum orang asli Yaman sendiri belum tentu bisa seperti itu.
==========================================
ya akhi wa Ukhti fillah…
ADA TANGAN HALUS
YANG MENDIDIK MEREKA.
DIALAH IBU MEREKA

akhi wa Ukhti fillah…
BETAPA PERAN PENTING SEORANG WANITA SHOLEHAH
UNTUK MENDIDIK DAN MENCIPTAKAN
ANAK-ANAK YANG SHOLEH DAN SHOLEHAH.

Seorang penyair dalam bait syairnya :

"ANAK KECIL ITU AKAN TUMBUH DEWASA
DI ATAS APA YANG TERBIASA (DIDAPATKANNYA) DARI ORANGTUANYA.
SESUNGGUHNYA DI ATAS AKARNYALAH POHON ITU AKAN TUMBUH"

[Kitab "Adabud dunya wad diin" (hal. 334)]

Senada dengan syair di atas,
ada pepatah arab yang mengatakan :

"BARANGSIAPA YANG KETIKA MUDA
TERBIASA MELAKUKAN SESUATU
MAKA KETIKA TUA PUN DIA AKAN TERUS MELAKUKANNYA"

[Dinukil dan dibenarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin dalam Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 43)]


 oleh: Rahmat Rijalun

Senin, 11 Maret 2013

DUAPULUH (20) KESALAHAN DALAM BERAQIDAH


Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan. 

Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.

1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah

Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.
Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah
Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,
  وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ 
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl 36]
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.
2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama

Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.

Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2]. Berdasarkan dalil.

قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ


Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [At-Taubah: 65-66]
Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.
3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.

Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [Al-Furqan: 2]

Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. [3]

4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.

Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.



الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ



Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Al-Mulk : 2]

Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian

5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.

Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam.


هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ


Ini adalah hari yang amat sulit.. [Huud : 77]
Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil.

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ


Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Al-Faathir : 13]

Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan. [4]. Dalilnya.

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ“ هُوَ الدَّهْرُ
 

Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.

Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ 


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan malam. [HR. Muslim 5862]

Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan [5]

6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”

Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ


Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan kehormatannya. [Shahih Muslim 2564]

Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”

Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” [HR. Muslim]

Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:

a). Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”

b). Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam yang masyhur.

إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ : رَجُلاً أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ فُلاَنٍ لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ فِي اْلأَجْرِ سَوَاءٌ


Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal. [Shahih Jami’ 3024]

c). Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.

8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.

Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ


Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman : 26-27]

Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

9. Salah memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ


Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim]

Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)

10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”

Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya. Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ


Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. [Luqman : 34]

Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.

Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ




Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. [HR. Bukhari]

Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.

11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.

Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]

12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”

Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah.

لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ

Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. [Dihasankan oleh Al-Albani]

Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi]

Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh Allah.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ


Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghaafir : 60]

13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah. 
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ


Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya [Al-An’am: 116]

Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.

14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.

Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.

فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
 

Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah: 22]

Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.

Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih gRadhiyallahu 'anhum.

15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.

اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
 

Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,

مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ


Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.

Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”

16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.

17. Penulisan ص   atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا


Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. [Abu Daud]

Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.

18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”

Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'laiahi wa asallam,

لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ


Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].

Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.

19. Mencaci-Maki Syetan.

Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi n ,

لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ


Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya]

Dan hadits yang lain.


عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ



Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau n bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.” [Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]

Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.

20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.



لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar. [HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.

Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disarikan dari kitab Akhta’un ‘Aqdiyah karya Syeikh Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmud dan kitab Alfazh Wa Mafahim karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin disertai beberapa tambahan dari sumber lain oleh Abu Ziyad Ibnu Sofwan – Al-Furqan Gresik
[2]. Lih. At-Tauhid oleh Shalih Fauzan hal. 42
[3]. Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh Syaikh Shalih al-Utsaimin
[4]. Untuk lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syeikh Salim Al-Hilali
[5]. Tentang celaan tidak hanya terbatas pada waktu saja, karena kita juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun hal. 156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah
[6]. Llihat Fathul Baari no. 6192, Muslim 2140
[7]. Ucapan “Celakalah engkau syaitan!” memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga dengan hal itu. red

Majalah As-Sunnah    http://almanhaj.or.id
 
Copyright © 2014 Risalahilmiyah.net. Blogger Templates Designed by OddThemes - DesignsRock